Jangan Memusuhi Riba Bagian 2
Kemarin, Saya menulis soal riba. Ada pro dan kontra. Bahkan, ada yang mengatakan Saya menghalalkan riba. Ya, semuanya bergantung pada persepsi masing-masing.
Dan tema ini jika tidak bisa open mind, maka akan sulit menerimanya.
Sebenarnya, tulisan dengan tema tentang ini saya tujukan bagi orang-orang yang MERASA telah terjerumus dalam limbah “RIBA”.
Saya tidak menyarankan Anda untuk berhutang atau melakukan profesi yang secara umum dipandang oleh masyarakat adalah riba jika Anda belum punya pekerjaan.
Saya hanya memberikan cara untuk menyikapinya saja. Terutama bagi teman-teman kita yang saat ini dirinya MERASA terjerumus RIBA. Dan saya juga tak membahas soal hukum syariat.
Saya hanya memberikan solusi dari ranah psikologi dan spiritual saja. Ingat, spiritual di sini jangan diidentikkan dengan agama ya, terutama syariat. Sebab, spiritual ini hubungan antara diri dan Tuhan secara langsung.
Sekali lagi, Saya tidak membahas hukum syariat di sini. Sebab, itu bukan ranah saya.
Dan jika ada yang berkata, Rasul dan Allah memerangi riba. Ya, betul sekali. Tapi, memerangi konteksnya di sini bagaimana.
Apakah kita mesti membencinya dan harus membumihanguskannya? Lalu, apakah bisa melakukannya?
Jika bisa, ya silahkan.
Begini, sebenarnya segala di dunia ini sifatnya netral. Semua peristiwa apa pun itu akan menjadi makna ketika sudah diterima oleh pikiran dan otak kita.
Sedangkan setiap orang punya pemikiran yang tak sama. Alhasil, penafsiran dan makna setiap peristiwa pun berbeda, bukan?
Contoh, ketika ada banjir. Sebagian besar orang menganggapnya musibah, ada juga yang menganggapnya anugerah, bahkan ada yang memanfaatkannya untuk pemberdayaan diri bahwa adanya banjir pertanda akan datang rezeki berlimpah, dan sebagainya.
Satu peristiwa saja, makna bisa banyak sekali.
Kembali lagi soal jangan memusuhi riba.
Jadi, kata kuncinya adalah MERASA terjebak dalam RIBA dan membencinya. Ketika merasa demikian, tentu menjadi hal yang sangat tidak nyaman. Karena fokusnya adalah perasaan tak nyaman, perasaan benci, maka yang menjadi realita adalah keterpurukan dalam hidupnya.
Karena salah satu hukum energi berbunyi energy flow where attention goes, artinya energi itu mengikuti apa yang menjadi atensimu.
Jika atensinya adalah ketidaknyaman, ketidaktenangan, rasa takut, dan khawatir, yang terjadi adalah itu. Dan itu akan menarik apa-apa dalam hidupumu.
Berbeda ketika tidak ada perasaan demikian. Kita tidak memusuhi riba. Tetapi, kita berdamai dengannya. Kita bisa menerimanya dalam hidup. Ada rasa cinta di dalamnya.
Dan rasa cinta di sini akan memberikan kemudahan dalam hidupnya. Yang punya hutang bisa lebih mudah melunasinya, yang bekerja di pekerjaan lembaga atau instansi yang dianggap riba (bagi orang-orang yang menganggapnya demikian) bisa lebih mudah mendapatkan keberkahan dalam hidupnya.
Misalnya bekerja di bank, di koperasi simpan pinjam, dan lembaga yang sejenis. Bukankah ada perbedaan pendapat ulama tentang hal itu soal riba ataukah tidak?
Ah, sudahlah ferguso. Tak usah membahas fikih ya.
Jika Anda merasa tak nyaman bekerja di tempat itu, ya silahkan bisa bekerja di tempat lain.
Tapi, jika Anda merasa nyaman dan membuat dirimu semakin berdaya karena dengan bekerja di tempat itu, kamu bisa membantu orang, menolong orang yang membutuhkan, dan bisa memberikan manfaat untuk orang lain, silahkan lanjutkan.
Sebab, semuanya bergantung pada prasangka kita. Bukankah begitu?
Energi akan mengikuti atensi atau perhatian kita. Fokus kita ke mana, pikiran kita bagaimana, rasa kita seperti apa, di situlah akan mewujud sebuah realita.
Join dan follow channel telegram dan Instagram Saya, klik link di bawah ini :
Channel Telegram https://t.me/saifussalamkuncirezeki
Instagram https://www.instagram.com/saifus_salam/