Jangan Sempitkan Pikiranmu

Sampai sekarang, masih banyak orang yang beranggapan bahwa “nggak apa-apa aku miskin di dunia, tapi kaya di akhirat” atau berkata, “Nabi itu bersama orang-orang fakir di surga,” dan perkataan semacamnya. Helloww…..

Bangun!!!!

Sadarkah Anda, bahwa Anda tak punya apa-apa di dunia, lalu ingin punya apa-apa di akhirat? Yakin? Sudah ada yang jamin?

Lalu, saat ketemu dengan orang kaya atau orang punya uang, bilang begini. “halah, paling ngepet. Pakai pesugihan itu. Bakal masuk neraka itu orang kalau hartanya nggak dipakai di jalan Allah, dll”

Ya, begitu banyak orang yang menguatkan kelemahannya. Memperkuat ketidakmampuannya. Karena merasa tidak mampu mengubah nasibnya, lalu pakai dalil-dalil yang sesuai dengan kondisinya.

Sebagai penghibur kondisinya saat ini. Sebagai pembela situasinya yang tak mampu untuk berubah. Sebenarnya bukannya tidak mampu, tapi lebih kepada mau ataukah tidak.

Sayangnya, lebih banyak yang tidak mau. Buktinya, enggan untuk belajar jadi lebih baik, enggan untuk membuka pikiran, tak mau membaca buku pengembangan diri, dan sudah merasa nyaman dengan nasibnya tanpa disadarinya.

Adakah di antara Anda masih ada yang berpikir demikian? Merasa lemah dan menguatkan kelemahannya dengan dalil, kutipan hadis, atau kutipan alquran.

Semoga saja Anda yang baca status ini tidak demikian ya. Sudah mulai mengubah cara berpikirnya.

Kawan, janganlah sempitkan pikiranmu. Segala sesuatu di dunia ini dinamis, tidak statis. Nabi yang sudah dijamin surga saja, istighfranya 100 kali setiap hari.

Meski sudah dijamin, bukan berarti diam diri. Anda beli kendaraan, tentu perlu perawatan. Tidak didiamkan begitu saja. Begitu juga dengan hidup, harus dinamis. Berubah. Dan itu bisa ke arah positif, bisa juga ke arah negatif.

Jika kita tak mau mengubah pola pikir, tak mau belajar, tak mau berlatih jadi lebih baik, hidup kita juga bakal berubah, tapi ke arah negatif.

Perluas pergaulan, perluas pemahaman, perluas kesadaran, perluas sudut pandang, dan perluas pola pikir. Dan ingat, itu semua tetap butuh proses.  

Nah, sekarang tinggal bagaimana diri kita. Siap untuk keluar dari zona nyaman yang malah membuat diri semakin menderita, ataukah memang nyaman dengan penderitaan yang sebenarnya mau keluar dari penderitaan itu, tapi diri tak mampu, atau bahkan tak mau memutuskan dan bertindak.

Semua ada di tangan kita.